Tangisan Pertama


 ***

Tepat di hari ke 5 dalam minggu itu, 10 hari sebelum berakhirnya bulan itu dimana bulan itu adalah 2 bulan terakhir dipenghujung tahun, sebelum akan berganti ke tahun yang baru, tepat dimana sebulan kemudian akan terjadi bencana maha dasyat dipenutupan tahun itu. Terdengar suara nyaring memenuhi rumah beratapkan ilalang, berdindingkan bambu dengan alas tanah tanpa semen ataupun keramik. Diatas tempat tidur bambu, terdengarlah suara yang berhasil memecahkan kesunyian malam. Suara yang menandai berakhirnya penderitaan ibunya. Dia menangis seakan paham betul perjuangan sang ibu menahan sakit hanya untuk mengabulkan titipan kehidupan yang diemban dari Sang Khalik. 

Seperti halnya bayi pada umumnya yang akan terdiam dengan nyaman saat menemukan kehangatan dan aroma dekapan yang ia kenal, ia terdiam lalu terlelap. Perjuangan belum selesai. Namun telah tertanam dengan dalam, telah terkubur dengan sangat rapi dan telah tersimpan dengan rapat setiap detail peristiwa untuk siap diceritakan padanya ketika ia sudah besar nanti. Satu Hal yang pasti, dia dilahirkan dengan sebuah anugerah yaitu Laki-laki. Dia adalah yang pertama walaupun bukan diurutan pertama. Dia adalah yang sulung walaupun berasal dari garis yang berbeda. Dan suatu saat nanti, mereka pasti akan mencarinya.

 Pada masa itu, kabar berita lebih cepat tersebar dari mulut ke mulut dibandingkan sumber berita lain. Tidak ada yang menduga akan menjadi seperti ini. Dia yang tadinya tidak dilirik, berhasil mendapatkan tempat khusus layaknya sebagai sang sulung. Namun, hutang luka akan terus membekas. Pengusiran dan penolakan itu masih terngiang dengan sangat jelas. Segudang maafpun tidak akan bisa mengubah bubur kembali menjadi nasi. Sudah terlambat.

Dia tumbuh layaknya bocah pada umumnya. Dia bermain air, dia bermain lumpur , dia berlari kesana kemari, dia terjatuh, dia bangkit dan akhirnya dia menutup hari dengan lelap tidurnya. Dia menjadi kesayangan ibunya namun tempat perluapan murka dari neneknya. “Kamu memberikan kesusahan yang sangat banyak untukku dan ibumu. Kamu adalah aib dan kesialan disini”. Kalimat yang tidak bisa dimengerti oleh bocah diusia itu. Dia menangis ketika dipukul, lalu berhenti dan kembali bermain lagi. Dia tidak pernah bertanya mengapa, dia hanya menerima setiap rotan, setiap pukulan sambil berharap seseorang datang menghentikan semua itu. Dia tetaplah seorang bocah.

Hari-hari ia lalui dan semakin lama ia semakin terbiasa seperti itu. Beberapa kali dia digendong orang sambil dicubit gemas. “Itu yang disana adalah ayahmu,” “itu yang disana adalah nenekmu,” “itu yang disana adalah keluargamu,”. Kalimat-kalimat itu semakin hari terasa familiar karena sering diucapkan mereka. Namun tetap saja, dia hanyalah seorang bocah laki-laki biasa. Belum waktunya dia memahami setiap kisah dan cerita dari mereka yang menderita karena dia. Ia tidak pernah memilih dilahirkan oleh siapa, ia tidak akan pernah bisa memilih siapa ayah atau siapa ibunya. Dan ia tidak akan pernah bisa memilih bagaimana latar cerita untuk diselipkan pada lembaran bab dihidupnya. Apakah sebuah kesalahan besar jika dia terlahir seperti ini? Apakah dia memiliki hak untuk menentukan nasib ini?

Akankah nasibnya akan berubah?

BERSAMBUNG…..


Comments

Popular posts from this blog

Rotan dan Besi

Belajar menjadi Transcriber

Rindu dan Kepergian