Bertolak Menuju Negeri Savana

 

***

Setelah melewati kebimbangan antara ilusi atau kenyataan tentang apa yang dialaminya, ia kembali ceria dan melanjutkan rutinitas hidupnya lagi. Masa kanak-kanak pun kembali ia lanjutkan setelah sempat terhenti karena sakit yang di deritanya. Belajar berhitung, bermain ayunan, berlarian dan bernyanyi menjadi masa terindah yang mungkin akan ia rindukan suatu saat nanti. Dan benar saja, sekarang, saat ini, ketika ia sedang menuliskan kembali kisah ini, ada rindu yang sangat besar untuk semua moment indah itu. Namun bukan berarti ia tidak bersyukur hari ini. Tidak. Dia sangat mensyukuri segalanya. Bahkan lebih dari itu. Dia sangat berterimakasih untuk segalanya. Apalah arti sebuah hikayat jika kamu tidak mengalami sendiri keindahan itu? Hikayat ini lebih dari sekedar sebuah karya. Ini adalah sebuah flashback dari suatu rentetan kisah panjang perjalanan seorang manusia fana yang bercerita. Bagaimanapun juga, ia hanyalah seorang manusia.

Di suatu sore, setelah kembali dari rutinitas bermainnya, seperti biasa bocah ini dipukul dan dicubit karena kenakalannya yang bermain kotor-kotoran. Namun ada sebuah pemandangan yang aneh sore itu, ada 2 orang tamu yang berkunjung dan dipanggil “kakak” oleh ibunya. Ternyata benar, mereka adalah paman dan bibi nya. Pamannya itu adalah anak ke-2 dari semua urutan kakak beradik termasuk ibunya, anak -anak dari neneknya. Pamannya telah menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari sebuah negeri yang katanya penuh dengan kuda-kuda perkasa dan terkenal dengan padang savananya yang indah. Dan sampai dengan saat itu, mereka belum dikaruniai seorang anak dalam pernikahan mereka. Semua keindahan dan hal-hal baik diceritakan mereka dan diselingi oleh ungkapan kagum tetangga dan semua yang datang berkunjung ke rumah.

“Wah gantengnya, su umur berapa dia sekarang ina?” tanya bibi itu kepada ibu dari si bocah sambil menggendong anaknya. “Umur-umur TK, Ibu” jawab ibunya. “Pak, mari kita bawa dia pulang, kita piara dia disana nanti” tanya bibi itu kepada suaminya. “Ina, sy bawa ini anak e, nanti sy kasih sekolah dia disana, bagaimana?” tanya paman itu kepada ibu dan nenek si bocah. Mereka saling menatap seakan sedang berdiskusi untuk mengiyakan atau menolaknya. Jika tetap disini, mungkin saja dia hanya sebatas menengah pertama, apakah lebih baik dia sekolah disana? Akhirnya bocah ini diijinkan untuk dibawa pergi ke negeri savana dan mengenyam pendidikan disana bersama dengan paman dan bibinya. 

Bagaimanakah kisah si bocah kampung setelahnya? Nantikan kelanjutannya  segera…

BERSAMBUNG…

Jo


Comments

Popular posts from this blog

Rotan dan Besi

Belajar menjadi Transcriber

Rindu dan Kepergian